Nikmatnya Menu Tradisional di Restoran

Jumat, 08 Oktober 2010

Westernisasi banyak menyeret orang untuk mengikuti gaya hidup serba cepat. Termasuk dalam hal makanan yang kita konsumsi. Meski disinyalir tidak baik untuk kesehatan, menu cepat saji malah semakin menyeret orang untuk menggemarinya.

Akibatnya, menu-menu tradisional yang notebene lebih sehat dari menu cepat saji tersebut, malah semakin terpendam. Terpinggirkan hanya di warung-warung kecil, bukan di restoran besar berfasilitas mewah.
Sebut saja gado-gado atau karedok. Kedua menu tradisional tersebut, jarang sekali disajikan di restoran. Malah lebih banyak dijual di ujung gang perkampungan atau di pinggir jalan besar yang ramai kendaraan.
Padahal, kalau disajikan dengan istimewa dan terjamin kebersihannya, tidak sedikit orang yang menggemarinya. Apalagi kalau resepnya unik dan memiliki cita rasa yang berbeda dengan lainnya.
Tersebutlah Juliana Hartono (64) yang mengemban misi mengangkat makanan tradisional menjadi bagian dari menu-menu restoran. Wanita kelahiran Jakarta, 7 Juli 1944 ini memulai usahanya dengan menjual gado-gado di rumahnya di bilangan Kebon Sirih.
Sekarang, dengan dibantu dua anaknya, Calvin dan Vera, Juliana Hartono sudah memiliki 8 restoran dan beberapa gerai food court dengan nama Gado-gado Boplo. Dalam waktu dekat, restorannya pun akan di buka di daerah Serpong dengan luas sekitar 1400 m2.
Gado-gado Boplo mulai didirikan sekitar tahun 70-an di rumah Juliana yang sederhana. “Waktu itu, umur saya sekitar 2 tahun,” kenang Calvin Hartono yang ditemui di restorannya di Perumahan Greenville.
Ibu saya, lanjutnya, benar-benar memulai usaha ini dari nol. Dia memulainya dari warung kecil di gang padat penduduk. Tapi di sini, dia punya rasa nasionalis yang kuat dan ingin mengembangkan makanan tradisional.
Nama Gado-gado Boplo sendiri baru dikenalkan setelah pindah dari Kebon Sirih ke Jalan Wahid Hasyim. Nama itu tadinya diambil dari nama sebuah apotik, tapi belakangan di ketahui kalau nama tersebut adalah nama real estate Belanda dengan nama NV De Bouwploeg, perusahaan real estate yang membangun Nieuw Gondangdia (Gondangdia Baru) yang kemudian berkembang menjadi kawasan Menteng.
Oleh lidah masyarakat pribumi, Bouwploeg pun disebut Boplo. “Dulunya, kawasan real estate tersebut ingin membangun kawasan Menteng seperti yang ada di Den Haag, Belanda,” jelas Calvin.
Satu di antara beberapa restoran Gado-gado Boplo berada di komunitas kita. Lokasinya berada di jajaran rumah makan dan kafe di Perumahan Greenville. “Restoran di sini baru dibuka sekitar April 2008 setelah yang ada di Panglima Polim,” kata Calvin.
Konsep restoran dibuat minimalis dengan interior dominan berwarna coklat tua. Di atas meja makan, digantung lampu-lampu memanjang berwarna merah.
Tersedia berbagai menu selain gado-gado. Seperti karedok, rujak juhi, lontong sayur, nasi timbel, nasi rames, nasi gudeg, berbagai olahan mie-bihun-kwetiauw, sop, sate, soto, dan sebagainya.
“Kami mulai menyajikan menu lain selain gado-gado sekitar tahun 80-an. Waktu itu, kami menambah menu goreng-gorengan. Kemudian pada tahun 2000, baru menyajikan menu Betawi seperti laksa, nasi kuning, dan nasi rames,” ujar Calvin.
Satu hal yang selalu didengungkan Gado-gado Boplo adalah konsumsi makanan sehat. Dengan banyak menyajikan menu sayur-sayuran, tubuh kita menjadi lebih sehat. “Seperti menu-menu yang disajikan di sini,” ungkap Calvin.

Labels:

0 komentar:

Posting Komentar