Pinot Bread (Pinot) merupakan gerai penganan yang menawarkan roti dan kue dengan kandungan vitamin C dan anti oksidan. Pinot yang berdiri sejak 2005 lalu ini berlokasi di Jalan Meruya Ilir Raya.
Banyak roti dan kue yang menjadi andalan di tempat ini. Semuanya tanpa menggunakan bahan pengawet sehingga roti dan kue lebih sehat, natural, dan halal. Bahan baku yang digunakan seperti, tepung roti, cream cheese, buah-buahan, dan kentang, sebagian besar bahan impor dengan kualitas terjamin.
Menjelang Lebaran, Pinot sudah mulai kebanjiran pembeli. Bahkan, order bisa melonjak lebih dari 100 %. “Order lebih banyak dari perusahaan-perusahaan yang ingin memberikan bingkisan Lebaran berupa cookies, parcel, atau cake sebagai bingkisan hari raya,” kata Pemilik Pinot Bread, Albert.
Selain itu, produk yang paling laris pada hari raya adalah cookies yang sangat cocok dihidangan saat Lebaran. Selain bercita rasa tinggi, cookies juga terbilang tahan lama.

Continue..

Filed Under:


Berawal Dari Wedang Ronde

Sederhana sosok kita yang satu ini. Padahal dialah pemilik sebuah tempat makan yang sekarang ini sedang naik daun karena sandwich-nya. Hidupnya sekarang jauh berbeda, baik dari segi materil maupun falsafah hidupnya. Dia lebih “membumi” dan jauh dari “mendewakan” uang.

Setelah keterpurukan usaha garmennya beberapa tahun lalu, kini Yuyung Harjanto mampu bangkit dari himpitan ekonomi. Dia telah berhasil merintis usaha rumah makan yang diberi nama Kedai Kopi Sandwich Bakar dengan jumlah karyawan lebih dari 100 orang.
Keberhasilannya boleh dibilang fenomenal. Pasalnya, Yuyung hanya bermodalkan warung tenda seluas 3 X 4 m dengan 3 meja. Itu pun menurut dia, banyak peralatan yang pinjam dengan teman. Kemudian bapak 3 anak ini juga tidak menunggu lama untuk sukses. Di bawah 5 tahun, dia sudah bisa pindah ke ruko yang dulunya ada di belakang warung tendanya.
“Dulu saya berdagang di depan ruko milik teman saya ini. Dia berbaik hati mengijinkan saya berdagang di depan rukonya. Setelah 8 bulan, saya pindah ke ruko ini dan naik ke lantai 1 setelah 1 tahun,” kata Yuyung.
Tidak sampai di situ, Yuyung dengan sandwich bakar-nya pun mampu mengalahkan pesaingnya. Seperti diketahui, sepanjang Jalan Pesanggrahan dekat Pasar Puri di mana kedai kopi Yuyung berada, terdapat banyak sekali tempat makan. Beberapa di antaranya ada yang tutup karena ketatnya persaingan. Tapi, Sandwich Bakar malah semakin berkibar dan sekarang sudah membuka cabangnya di Kelapa Gading.
Pengunjungnya pun terus bertambah dan datang dari seantero Jakarta. Lihat saja setiap akhir minggu, tempat makan ini pasti sarat pengunjung. Sebagian besar anak-anak muda yang akrab dengan sandwich. Tapi, ada juga orang tua yang ingin bersantap sambil membawa anak-anaknya.

Berawal dari Wedang Ronde
Siapa sangka kalau awal mula Sandwich Bakar itu dari wedang ronde. Yuyung senang sekali penganan tradisional Indonesia ini. Dia sering mencobanya di berbagai tempat. Bila dirasa enak, dia menyuruh istrinya, Sritini, untuk membuatnya.
Setelah beberapa kali mencoba membuatnya, kurang lebih selama 6 bulanan, Yuyung baru mendapat resep jitunya. Dia pun menyuruh teman-temannya mencoba wedang ronde buatan istrinya.
“Waktu itu, teman-teman saya bilang cukup enak. Ngga tau bener apa ngga, namanya temen kan sering bilang enak, meski rasa sebenarnya tidak begitu,” cerita Yuyung.
Dari situ, lelaki kelahiran Bandung ini pun merasa punya modal untuk memulai usaha. Tapi, dia bingung, mau jualan di mana? Sedangkan dia tidak punya uang dan bangkrut. Usaha garmennya yang sudah dirintis selama 23 tahun pailit. Tahun 2002, dia menjadi penganggur selama kurang lebih 8 bulan.
Untungnya, Yuyung masih punya teman yang memberinya pekerjaan. Dia coba bekerja lagi, tapi kini bekerja dengan orang lain. Bukan sebagai pemilik perusahaan.
Bisa dibayangkan, betapa besar dilema hidup yang dialami Yuyung. Biasa jadi bos, tapi waktu itu, dia harus menjadi karyawan. Belum lagi masalah kebiasaan hidup yang dulunya enak, tapi saat itu, ia harus menerima takdir hidup serba kekurangan.
“Sebenarnya waktu itu, tidak terlalu kaget dengan perubahan ekonomi saya. Tapi, saya tidak enak dengan anak istri. Meski begitu, untungnya mereka sangat mendukung saya,” cerita Yuyung.
Walaupun sudah bekerja, namun masalah Yuyung tidak berhenti sampai di situ. Dia masih punya hutang banyak dan kebutuhan keluarganya pun tak kunjung terpenuhi. Di tengah gundahnya, ada orang yang memberinya nasehat,”Kalau mau buka usaha, jangan cari yang jauh-jauh tetapi cari yang dekat-dekat saja.”

Continue..

Filed Under:


Selain hidangan nan lezat, apa sih yang dicari orang ketika masuk ke sebuah restoran? Pelayannya yang cantik, tempat bersih yang nyaman, atau apa? Aha! Bagaimana kalau ruangannya yang dibuat mirip galeri seni dan dibuat sangat artistik sampai ke urusan toilet?

Sedikit sekali tempat makan yang benar-benar memperhatikan ruangan secara detail sampai ke tempat “buang hajat”. Padahal setiap orang yang “mampir” ingin mendapat pelayanan serba memuaskan “dari ujung rambut sampai ujung kaki”.
Bulan ini, AdInfo mendapat undangan mencicipi sebuah restoran di bilangan Perumahan Greenville yang terkenal dengan jajaran tempat makannya. Restoran bernama 101 Rolls ini baru dibuka 14 September 2007 dan menyajikan menu internasional dengan penyajian ala resto Jepang.
Pertama kali melihat tempat ini, AdInfo menyangka kalau ruangannya pasti sempit dan tertata dengan kaku. Tapi, ketika masuk, terlihat ruangan yang ternyata malah tertata apik dan tidak terkesan sempit.
Suasananya memang agak gelap, tapi memang kebanyakan restoran yang “bergaya” memang seperti itu. Remang-remang dengan penataan cahaya yang mengutamakan estetika.
Belum sempat menanyakan siapa orang yang akan diwawancarai, seorang wanita menghampiri AdInfo dan memperkenalkan namanya, Jenny. Akh, ternyata ini orangnya. Wanita muda yang mengundang AdInfo dan menjabat sebagai Event & Marketing Manager 101 Rolls.
Setelah mempersilahkan duduk, Jenny pun langsung bercerita banyak tentang restorannya. Mulai dari menu andalan sampai masalah toilet tadi. “Semuanya kita buat sangat menarik dan konsepnya seperti galeri seni,” ucapnya.
Barang-barang seni yang memiliki nilai artistik memang dapat ditemui di 101 Rolls. Saat pertama kali masuk saja, sebenarnya kita sudah menemukan keunikan dari barang seni tersebut. “Di pintu masuk, kami menempatkan sebuah dayung dari suku pedalaman yang digunakan sebagai gagang pintu,” katanya.
Kemudian jika kita melempar pandang ke arah paling belakang yang menjadi latar terjauh restoran ini, kita akan melihat ukiran kayu tak beraturan berwarna cokelat. Ukiran tersebut berbentuk ulir-ulir yang dibuat dengan tangan.
Di sebelah kanannya, terdapat ruangan yang juga difungsikan sebagai tempat bersantap. Di situ, kita bisa melihat satu buah karya seni berupa tarikan atau rajutan tambang tak beraturan dalam sebuah bingkai.

Menu Fusion
Ketika ditanya mengenai menu yang ditawarkan, Jenny mengatakan bahwa restorannya menyediakan menu “fusion”. Katanya, menu-menu internasional, termasuk dari Indonesia, disediakan di tempatnya.
Bukan hanya ragam menu yang “fusion”, tapi ada pula beberapa gaya penyajian dan bumbu menu yang dibuat campuran yang sebenarnya tidak ada di menu aslinya. Seperti Steak yang dibuat seperti Maki atau roll. Kemudian ada juga menu western yang disajikan dengan saus Wasabimayo.
Sekedar menyebutkan, kita bisa mencoba Popeye Favourite Chicken Wrap yang merupakan menu favorit 101 Rolls.
Bahan baku utama menu ini adalah daging ayam dan sayur bayam. Daging ayam dipanggang seperti steak dan dibuat layaknya croissants. Kemudian gulungan daging ayam yang juga dibalut lapisan tepung kering ini digunakan untuk membungkus sayur bayam rebus. Tampilan menu ini semakin menarik ketika tersiram saos Black Pepper(lada hitam) bercampur saos Balsamic.

Continue..

Filed Under:


Ikan Goreng Cianjur yang telah berdiri sejak 1989 ini memiliki banyak cabang yang di antaranya di Medan, Pekanbaru, Samarinda, Balik Papan, Banjarmasin dan akan menyusul cabang di Aceh. Salah satu cabangnya yang berlokasi di Jakarta adalah Ikan Goreng Cianjur Greenville. Lokasinya yang cukup strategis dan nama besarnya cukup membuat resto ini mudah dikenal.

Operasional Area Manager Ikan Goreng Cianjur, Rusman menuturkan, respon penggemar masakan khas Jawa Barat di wilayah GreenVille dan sekitarnya cukup lumayan banyak. Bukan itu saja, nama Ikan Goreng Cianjur sepertinya sudah tidak asing lagi terdengar di telinga mereka. Hal ini bisa dilihat dari jumlah pengunjung yang datang untuk menikmati kelezatan masakan ala Jawa Barat ini. ”Pengunjung akan terlihat ramai ketika pas jam makan siang dan makan malam. Jika weekend tiba, bisa-bisa banyak yang waiting list,” ungkap Rusman.
Bahkan, walaupun resto ini baru buka sekitar 1 bulan lalu, tidak jarang mereka sudah mengenal menu andalan dari resto ini. Maklum saja, resto yang satu ini sudah cukup dikenal di beberapa wilayah Indonesia, salah satunya adalah di daerah Surabaya.
Suasana makan pun akan bertambah romantis dan menyenangkan. Pasalnya, sambil makan di sini Anda juga bisa mendengarkan suara alunan musik Jawa Barat. Suasana Jawa Barat memang terasa kental di rumah makan ini. Selain menyajikan makanan, resto ini juga memberikan pelayanan dan suasana Jawa Barat yang membuat pengunjung merasa nyaman dan betah. Ruangan dengan desain semi modern yang berkapisitas 150 seat ini dilengkapi dengan VIP room kapasitas 30 seat. Selain itu, resto Ikan Goreng Cianjur yang berlokasi di GreenVille ini juga dilengkapi dengan ruang smoking room.
Salah satu ciri khas dari resto ini adalah kostum yang dikenakan oleh para pelayannya. Untuk pria biasanya mengenakan baju batik plus celana panjang warna hitam. Sedangkan untuk para pelayan wanita mengenakan kebaya batik.

Continue..

Filed Under:


Westernisasi banyak menyeret orang untuk mengikuti gaya hidup serba cepat. Termasuk dalam hal makanan yang kita konsumsi. Meski disinyalir tidak baik untuk kesehatan, menu cepat saji malah semakin menyeret orang untuk menggemarinya.

Akibatnya, menu-menu tradisional yang notebene lebih sehat dari menu cepat saji tersebut, malah semakin terpendam. Terpinggirkan hanya di warung-warung kecil, bukan di restoran besar berfasilitas mewah.
Sebut saja gado-gado atau karedok. Kedua menu tradisional tersebut, jarang sekali disajikan di restoran. Malah lebih banyak dijual di ujung gang perkampungan atau di pinggir jalan besar yang ramai kendaraan.
Padahal, kalau disajikan dengan istimewa dan terjamin kebersihannya, tidak sedikit orang yang menggemarinya. Apalagi kalau resepnya unik dan memiliki cita rasa yang berbeda dengan lainnya.
Tersebutlah Juliana Hartono (64) yang mengemban misi mengangkat makanan tradisional menjadi bagian dari menu-menu restoran. Wanita kelahiran Jakarta, 7 Juli 1944 ini memulai usahanya dengan menjual gado-gado di rumahnya di bilangan Kebon Sirih.
Sekarang, dengan dibantu dua anaknya, Calvin dan Vera, Juliana Hartono sudah memiliki 8 restoran dan beberapa gerai food court dengan nama Gado-gado Boplo. Dalam waktu dekat, restorannya pun akan di buka di daerah Serpong dengan luas sekitar 1400 m2.
Gado-gado Boplo mulai didirikan sekitar tahun 70-an di rumah Juliana yang sederhana. “Waktu itu, umur saya sekitar 2 tahun,” kenang Calvin Hartono yang ditemui di restorannya di Perumahan Greenville.
Ibu saya, lanjutnya, benar-benar memulai usaha ini dari nol. Dia memulainya dari warung kecil di gang padat penduduk. Tapi di sini, dia punya rasa nasionalis yang kuat dan ingin mengembangkan makanan tradisional.
Nama Gado-gado Boplo sendiri baru dikenalkan setelah pindah dari Kebon Sirih ke Jalan Wahid Hasyim. Nama itu tadinya diambil dari nama sebuah apotik, tapi belakangan di ketahui kalau nama tersebut adalah nama real estate Belanda dengan nama NV De Bouwploeg, perusahaan real estate yang membangun Nieuw Gondangdia (Gondangdia Baru) yang kemudian berkembang menjadi kawasan Menteng.
Oleh lidah masyarakat pribumi, Bouwploeg pun disebut Boplo. “Dulunya, kawasan real estate tersebut ingin membangun kawasan Menteng seperti yang ada di Den Haag, Belanda,” jelas Calvin.
Satu di antara beberapa restoran Gado-gado Boplo berada di komunitas kita. Lokasinya berada di jajaran rumah makan dan kafe di Perumahan Greenville. “Restoran di sini baru dibuka sekitar April 2008 setelah yang ada di Panglima Polim,” kata Calvin.
Konsep restoran dibuat minimalis dengan interior dominan berwarna coklat tua. Di atas meja makan, digantung lampu-lampu memanjang berwarna merah.
Tersedia berbagai menu selain gado-gado. Seperti karedok, rujak juhi, lontong sayur, nasi timbel, nasi rames, nasi gudeg, berbagai olahan mie-bihun-kwetiauw, sop, sate, soto, dan sebagainya.
“Kami mulai menyajikan menu lain selain gado-gado sekitar tahun 80-an. Waktu itu, kami menambah menu goreng-gorengan. Kemudian pada tahun 2000, baru menyajikan menu Betawi seperti laksa, nasi kuning, dan nasi rames,” ujar Calvin.
Satu hal yang selalu didengungkan Gado-gado Boplo adalah konsumsi makanan sehat. Dengan banyak menyajikan menu sayur-sayuran, tubuh kita menjadi lebih sehat. “Seperti menu-menu yang disajikan di sini,” ungkap Calvin.

Continue..

Filed Under:


Greeting itulah yang terdengar setiap menginjakkan kaki di rumah makan ini. Bumbu Desa menawarkan sajian khas masakan Sunda dengan nuansa ranah Parahyangan di tengah kota.

Konsep resto dan menu yang disajikan terlihat sangat matang. Mulai tampilan gedung dan kapasitas sampai desain interiornya yang khas Sunda. Bumbu Desa dibuat dengan pelayanan dan penyajian ala kedai atau Warteg, tapi dikelola dengan profesional, modern, teaterikal, entertaining, cepat, dan experiencing.
Menurut Penanggung Jawab Bumbu Desa Kebon Jeruk, Putra, konsep tersebut diterapkan di seluruh outlet Bumbu Desa. “Awal didirikan untuk mengapresiasikan para ibu-ibu di Jawa Barat, khsususnya daerah Garut, yang masih memasak dengan cara tradisional. Konsep yang ada adalah memadukan 2 generasi, modern dan klasik. Ini bisa dilihat dari desain tempatnya yang terbilang mewah , tapi masih ada sisi klasiknya,” jelasnya.
Selain ucap salam yang khas tadi, Bumbu Desa yang pertama kali berdiri di Jalan Laswi No 1, Bandung ini, memiliki interior desain yang sangat menarik. Lihat saja foto-foto hitam putih yang dijajarkan memanjang di setiap dindingnya. Di situ, terpampang beberapa aktivitas yang biasa dilakukan orang-orang desa.
Sebut saja orang yang sedang mencangkul sawah, menangkap ikan, membuat gula Jawa, menggoreng tahu Sumedang, atau menangkap ikan. Begitu juga dengan masih digunakannya lampu petromak
Furniturnya dipilih yang memiliki sentuhan modern, tapi masih mencirikan karakter tradisional. Seperti tempat duduk yang memiliki sandaran tinggi dan dibuat dari rajutan rotan berwarna coklat tua.
Belum lagi kalau melihat pramu sajinya. Wah, unik sekali. Wanitanya memakai kain batik khas Jawa Barat dengan tutup kepala kain, sedangkan yang laki-laki mengenakan pakaian “unyil”. Lengkap dengan kopiah di kepala dan sarung yang diikatkan di badan.
Terutama laki-laki, ada lagi seragam yang biasa digunakan, yaitu atasan hitam dengan celana panjang bermotif lurik. “Pakaian itulah ciri khas kami. Ada lagi hal lain yaitu, salam hangat di dada yang menandakan layanan tulus dari kami,” ujar Putra.

Kedai Modern
Sejak didirikan 4 tahun lalu di Bandung, Bumbu Desa terbilang tumbuh dengan pesat. Selain di Kebon Jeruk, restoran yang menyajikan menu bercita rasa asli Sunda pedalaman ini telah memiliki beberapa cabang di Jakarta dan luar kota, seperti Surabaya, Bogor, dan Cirebon. “Mendatang, kita akan buka di Serpong dan Bali,” jelas Joisma.
Setiap cabang dibuat dengan kapasitas tempat duduk yang cukup banyak dan gedung yang cukup mewah. Hal itu sengaja diterapkan agar kesan kedai modern lekat di Bumbu Desa.
Setiap orang yang hendak bersantap di restoran ini, pertama kali yang harus dilakukan adalah memilih tempat makan. Kemudian, mereka baru bisa memilih menu yang diinginkan. Terhitung sekitar 20 macam menu disajikan di atas meja panjang.
Menu-menu tersebut disajikan di atas coet/cobek (wadah yang terbuat dari batu kali berbentuk bulat) berukuran besar dan penggorengan dengan alas daun pisang. “Buat menu sayur atau tumis yang berkuah, biasanya ditempatkan di penggorengan. Sedang menu seperti ayam atau udang, ditaruh di cobek,” kata Putra.
Nasi pun tersedia dalam berbagai pilihan. Ada nasi putih biasa, nasi liwet, dan nasi merah. Buat mereka yang memesan lebih dari 5 porsi, biasanya nasi akan disajikan menggunakan boboko (bakul nasi). Sedangkan yang hanya memesan 1 – 2 porsi, nasi akan disajikan di atas daun pisang.
Bukan restoran Sunda namanya kalau tidak ada lalapan dan sambal. Di tempat makan ini, tersedia Salad Bar dengan aneka lalapan (daun selada, terong, timun) dan berbagai sambal, seperti sambal dadag (terasi), sambal goreng, sambal oncom (sambal dicampur oncom bakar), dan sambal hijau.
Penyajian lalapan dan sambal atau yang disebut dengan menu komplimen ini pun sangat khas. Lalapan ditempatkan di pipiti (besek bambu). Sedangkan sambal bisa diambil dengan cobek kecil persegi panjang yang bisa ditempatkan dua macam sambal.
Selesai memilih menu dan lalapan, tinggal tunggu di meja yang sudah dipesan sebelumnya. Tidak berapa lama, pesanan menu pun akan datang. Pembayaran dilakukan belakangan setelah selesai makan.

Continue..

Filed Under: